Green steel dan teknologi industri baja kini menjadi fokus utama di tengah percepatan transisi menuju ekonomi hijau. Di Asia Tenggara, industri baja sedang berada di persimpangan penting: bagaimana memenuhi permintaan pasar global sambil menurunkan emisi karbon secara signifikan.
Menurut World Steel Association, produksi baja dunia berkontribusi sekitar 7–9% terhadap emisi karbon global. Tekanan untuk dekarbonisasi datang dari berbagai arah seperti kebijakan perdagangan, konsumen akhir yang makin sadar lingkungan, serta kebutuhan mendesak untuk menekan pemanasan global di bawah 1,5°C. Dalam konteks ini, pengembangan green steel, yakni baja dengan jejak karbon rendah bukan lagi pilihan tambahan, melainkan kebutuhan strategis bagi pelaku industri di Asia Tenggara.
Transformasi Industri Baja: Kenapa Green Steel Menjadi Prioritas?
Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) Uni Eropa telah mengubah peta persaingan global industri baja. Mulai 2026, ekspor baja dari negara-negara non-EU yang memiliki emisi karbon tinggi akan dikenakan pajak karbon saat memasuki pasar Eropa.
Dampak ini terasa nyata bagi produsen baja di kawasan ASEAN, termasuk Indonesia, Vietnam, dan Thailand, negara-negara dengan basis ekspor baja yang kuat ke Eropa dan Asia Timur. Tanpa transformasi proses produksi ke arah rendah karbon, produk baja dari kawasan ini akan menghadapi hambatan kompetitif yang semakin besar.
Di sisi lain, permintaan dari sektor otomotif, konstruksi hijau, dan energi terbarukan juga memacu pertumbuhan green steel. Research and Markets mencatat bahwa permintaan global untuk green steel akan tumbuh sebesar 122.9% dari tahun 2023 hingga 2030, dengan ukuran pasar yang diantisipasi mencapai angka yang mengejutkan yaitu US$47,2 miliar hingga akhir tahun 2030, hal ini kemungkinan didorong oleh lonjakan proyek infrastruktur rendah emisi dan peningkatan adopsi kendaraan listrik (EV).
Teknologi Kunci di Balik Produksi Green Steel
Transformasi menuju green steel sangat tergantung pada teknologi produksi. Di Asia Tenggara, beberapa pendekatan mulai diadopsi:
- Electric Arc Furnace (EAF).
Proses EAF memungkinkan produksi baja dengan memanfaatkan energi listrik, yang idealnya berasal dari sumber energi terbarukan dan penggunaan scrap steel. Berbeda dengan blast furnace tradisional yang sangat bergantung pada batu bara, EAF dapat mengurangi emisi karbon hingga 75% bila dipadukan dengan renewable energy. Indonesia dan Vietnam mulai melirik EAF sebagai solusi jangka menengah.
- Direct Reduced Iron (DRI) berbasis hidrogen.
Teknologi DRI menggunakan hidrogen sebagai agen reduksi, menggantikan batu bara. Meski investasi awal tinggi, DRI berbasis hidrogen berpotensi menghasilkan baja nyaris tanpa emisi karbon. Sampai saat ini, International Energy Agency (IEA) dalam laporan 2025 menyoroti potensi besar DRI berbasis hidrogen di ASEAN jika didukung infrastruktur hydrogen supply yang memadai.
- Circular economy dan pemanfaatan scrap steel.
Asia Tenggara memiliki potensi besar dalam mengadopsi model circular economy, yaitu meningkatkan penggunaan scrap steel. Selain ramah lingkungan, pendekatan ini mengurangi ketergantungan pada bijih besi primer. - Digitalisasi dan AI.
Teknologi seperti AI-driven process optimization dan digital twin mulai diterapkan untuk meningkatkan efisiensi proses, mengurangi limbah, serta mengoptimalkan penggunaan energi dalam pabrik baja.
Peluang Investasi dan Kemitraan Strategis
Transformasi green steel membuka jalan bagi berbagai peluang investasi baru di Asia Tenggara.
Pertama, kolaborasi antara produsen baja lokal dan perusahaan teknologi global kini menjadi semakin penting. Misalnya, Jepang dan Korea Selatan mulai menjalin kemitraan teknologi dengan pabrikan di ASEAN untuk mempercepat adopsi EAF dan DRI.
Kedua, kebutuhan akan pendanaan hijau mendorong minat pada produk keuangan berbasis ESG. Asian Development Bank (ADB) dalam laporannya tahun 2025 menyoroti pertumbuhan green bond di sektor baja sebagai katalis penting. Selain itu, kemunculan ESG-linked loan dan blended finance membantu mengurangi barrier investasi teknologi baru.
Ketiga, sektor startup dan inovator teknologi proses turut memperkaya ekosistem green steel. Perusahaan teknologi energi terbarukan, penyedia hydrogen electrolyzer, serta platform AI untuk industri berat mulai menjadi mitra penting bagi produsen baja yang tengah bertransformasi.
Tantangan dan Roadmap Green Steel di Asia Tenggara
Meski peluang besar, transisi ke green steel di Asia Tenggara menghadapi tantangan yang tak ringan.
Kapasitas energi terbarukan di banyak negara ASEAN masih terbatas dan harga listrik hijau belum sepenuhnya kompetitif. Tanpa ketersediaan energi hijau yang andal, adopsi EAF atau DRI tidak akan optimal.
Selain itu, harmonisasi standar green steel di tingkat regional masih perlu ditingkatkan. Saat ini, belum ada standar sertifikasi yang seragam di ASEAN, yang menyebabkan ketidakpastian di tingkat pasar.
Namun demikian, berbagai inisiatif tengah digalang, termasuk melalui forum regional seperti ASEAN Iron & Steel Council dan kolaborasi dengan ResponsibleSteel. Jika sinergi ini terus diperkuat, roadmap transisi green steel di Asia Tenggara akan semakin jelas.
Kesimpulan: Saatnya Berinvestasi di Masa Depan Industri Baja
Pergeseran ke green steel bukan sekadar respons terhadap tekanan regulasi, melainkan peluang strategis untuk meningkatkan daya saing industri baja Asia Tenggara di pasar global.
Dengan kolaborasi lintas sektor, adopsi teknologi yang tepat, serta dukungan kebijakan dan pendanaan hijau, kawasan ini berpotensi menjadi pusat produksi green steel yang berdaya saing tinggi.
Bagi para pelaku industri, pemimpin bisnis, maupun investor, sekaranglah saat yang tepat untuk terlibat lebih jauh dan ikut membentuk masa depan industri baja rendah karbon.
Baca juga: Tren Industri Baja 2025: Peluang, Tantangan, dan Peran Pemimpin