Keberlanjutan, khususnya kelestarian lingkungan, adalah prioritas utama bagi sektor bisnis dan konsumen di seluruh dunia. Hal ini membuat pemerintah menetapkan standar peraturan yang lebih ketat, konsumen membuat keputusan pembelian yang lebih tepat, dan ekonomi bergeser ke arah konsep keberlanjutan dan dekarbonisasi.

Perubahan iklim berada di daftar prioritas teratas bagi para pemimpin bisnis. Menjelang COP26, Pusat Tata Kelola Perusahaan INSEAD dan Heidrick & Struggles melakukan survei global terhadap dewan direksi. 75% menyatakan bahwa perubahan iklim sangat penting bagi keberhasilan strategis perusahaan mereka.

1. Konsumen mengutamakan kelestarian lingkungan

Efek merugikan dari perubahan iklim, seperti cuaca ekstrem, kekeringan, dan banjir adalah peringatan yang jelas bagi seluruh umat manusia. Isu “kebangkitan lingkungan” terjadi di antara konsumen di seluruh dunia – baik di negara maju maupun berkembang – dengan peningkatan sebesar 24% di Indonesia. Kepedulian publik terhadap alam juga meningkat selama pandemi, sebesar 16%.

Konsumen semakin mulai mendukung bisnis yang terlibat dalam upaya keberlanjutan. 66% dari mereka yang disurvei (dalam survei kelompok McKinsey AS) mempertimbangkan konsep keberlanjutan yang dimiliki sebuah produk saat akan melakukan pembelian. Sektor bisnis juga diminta pertanggungjawaban oleh pelanggan, sehingga ada permintaan yang meningkat untuk memasok produk yang lebih ramah lingkungan, termasuk produksi baja yang lebih ramah karbon.

2. Peraturan mengenai emisi karbon diatur lebih ketat

Harga karbon, yang dikenal sebagai pajak karbon, adalah harga yang harus dibayar perusahaan berdasarkan karbon yang mereka keluarkan dalam proses produksi barang dan jasa. Hal ini menjadikan semakin banyak karbon yang dikeluarkan, maka semakin mahal biaya operasi yang dikeluarkan. 

Secara umum ada 64 inisiatif penetapan harga karbon yang dilaksanakan (atau dijadwalkan untuk dilaksanakan). Menurut statistik Bank Dunia di Indonesia, Presiden Joko Widodo menandatangani “Nilai Ekonomi Karbon” serta memperkenalkan sistem tutup dan perdagangan karbon yang akan dimulai pada bulan April tahun ini. Di sinilah nilai batas karbon yang dikeluarkan dalam suatu proses produksi ditetapkan, dan perusahaan yang melebihi nilai batas ini harus membayar 30.000 rupiah ($2,09) per ton CO2e untuk pembangkit listrik tenaga batu bara yang digunakan.

Agar tetap kompetitif dan tidak dikenakan pajak karbon yang berlebihan, sangat penting bagi perusahaan untuk beralih menggunakan energi yang lebih bersih dan bermitra dengan pemasok bahan baku yang dapat menawarkan solusi tersebut.

3. Para pemimpin bisnis dan investor memprioritaskan prinsip-prinsip ESG

Ada juga pergeseran prioritas bisnis menuju pembangunan yang lebih berkelanjutan secara lingkungan dan sosial. Manifesto Davos menyatakan bahwa “tujuan perusahaan adalah untuk melibatkan semua pemangku kepentingannya dalam penciptaan nilai bersama dan berkelanjutan,” dan sebagian besar (91%) direktur yang disurvei setuju dengan pernyataan ini.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Global Diligent Institute, sejak COVID-19, direktur perusahaan menghabiskan lebih banyak waktu untuk mempertimbangkan masalah ESG. Akibatnya, banyak industri mengevaluasi seluruh rantai pasokan untuk memastikan mereka mengurangi emisi karbon untuk mencapai target nol karbon dengan cepat. Misalnya di industri otomotif, Toyota bertujuan untuk memastikan pemasok komponen penting mengurangi emisi karbon mereka sebesar 3%, dan Volkswagen pada 2023 ingin memastikan semua pabrik mereka di Eropa hanya dipasok oleh energi terbarukan.

4. Harga hidrogen hijau diperkirakan akan turun setengahnya selama 10 tahun ke depan

Pembangkit listrik melalui pembakaran bahan bakar fosil dulunya lebih murah daripada biaya produksi energi terbarukan. Namun, pada tahun 2030, harga hidrogen akan turun karena penurunan biaya energi matahari dan angin. Energi yang dibuat dari bahan bakar fosil mungkin menjadi lebih mahal karena adanya peraturan serta hukuman yang dikenakan untuk pelepasan emisi karbon yang berlebihan. 

Baja membutuhkan sejumlah besar energi untuk diproduksi. Bagaimanapun baja hijau adalah baja yang dibuat menggunakan hidrogen, bukan batu bara. Karena diproduksi dengan jejak karbon serendah mungkin, hal tersebut membuat baja hijau lebih bersifat ramah lingkungan dan juga hidrogen menjadi cara yang lebih hemat untuk menghasilkan energi. Memproduksi baja dengan hidrogen, akan membuat baja hijau menjadi pilihan yang lebih murah. Beralih, dari baja konvensional ke baja hijau, tidak hanya akan membantu perusahaan mengurangi emisi mereka, tetapi juga membantu meningkatkan keuntungan yang akan mereka dapatkan.

Bermitra dengan Gunung Prisma untuk solusi baja berkelanjutan

Untuk tetap kompetitif dan memenangkan hati konsumen saat ini, mereka harus berada di sisi yang benar dari tren ini. Gunung Prisma, perusahaan distribusi baja terkemuka yang berbasis di Indonesia dan dipimpin oleh Liwa Supriyanti, memperjuangkan penggunaan solusi ramah lingkungan dan mendistribusikan baja ramah lingkungan. Mari bermitra dengan kami untuk menawarkan solusi berkelanjutan untuk target pasar Anda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *