Dalam beberapa tahun terakhir, preferensi buyer global terhadap produk green steel mengalami perubahan besar. Jika dulu baja dipilih terutama berdasarkan kekuatan, harga, dan ketersediaan, kini aspek keberlanjutan mulai menjadi faktor kunci dalam keputusan pengadaan material terutama di sektor energi terbarukan, otomotif, dan konstruksi.
Bagi produsen industri baja di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, memahami perubahan preferensi ini sangat penting. Ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan bagian dari transformasi global menuju rantai pasok yang lebih hijau dan rendah karbon.
Faktor Pendorong di Balik Tren Green Steel
Ada beberapa faktor utama yang membuat buyer global kini semakin memprioritaskan green steel:
Pertama, banyak perusahaan multinasional telah berkomitmen pada target net-zero emission. Untuk mencapainya, mereka tidak hanya harus mengurangi emisi dari operasional langsung (scope 1 & 2), tetapi juga dari rantai pasok (scope 3), yang mencakup material seperti baja.
Kedua, regulasi baru seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) mendorong perusahaan untuk memilih pemasok yang mampu menyediakan baja dengan jejak karbon rendah, agar dapat mengurangi risiko biaya tambahan dan hambatan perdagangan. Seperti dibahas dalam artikel 👉 Dampak CBAM Eropa bagi Ekspor Baja Indonesia: Ancaman atau Peluang?, ini menjadi insentif besar bagi buyer Eropa dan global untuk memprioritaskan green steel.
Ketiga, ekspektasi dari pemegang saham, konsumen, dan regulator terhadap transparansi ESG semakin tinggi. Banyak buyer kini mensyaratkan pemasok baja memiliki sertifikasi Environmental Product Declaration (EPD) atau mengikuti standar karbon internasional.
Sektor yang Memimpin Perubahan
Beberapa sektor industri menjadi pelopor dalam pergeseran ini. Di sektor energi terbarukan, misalnya, developer proyek offshore wind farm dan solar farm kini hampir selalu memprioritaskan green steel untuk memenuhi standar keberlanjutan proyek mereka. Ini sejalan dengan tren yang dibahas dalam artikel 👉 Masa Depan Green Steel di Asia Tenggara: Teknologi dan Peluang Investasi.
Di sektor otomotif, produsen kendaraan listrik mulai menetapkan target penggunaan green steel hingga 50-70% dalam platform EV baru. Di sektor konstruksi, proyek bangunan hijau dan infrastruktur publik berkelanjutan juga semakin mensyaratkan material baja yang rendah karbon.
Implikasi Bagi Industri Baja Indonesia
Bagi industri baja Indonesia, perubahan preferensi buyer global ini memiliki dua sisi. Di satu sisi, membuka peluang pasar baru untuk baja rendah karbon. Di sisi lain, tanpa investasi yang tepat, produsen lokal bisa kehilangan daya saing di pasar ekspor premium.
Perusahaan yang mampu berinvestasi dalam teknologi Electric Arc Furnace (EAF), memanfaatkan energi terbarukan, serta membangun sistem pelaporan karbon yang kredibel, akan memiliki keunggulan kompetitif di pasar global yang semakin hijau.
Adaptasi Adalah Kunci
Preferensi buyer global terhadap green steel kini menjadi kenyataan yang tidak dapat diabaikan. Bagi produsen baja Indonesia, adaptasi cepat bukan hanya soal menjaga pangsa pasar, tetapi juga peluang untuk membangun reputasi baru sebagai pemain yang relevan di era industri hijau.
Dengan memahami perubahan permintaan ini, serta berinvestasi pada teknologi dan kapabilitas yang tepat, industri baja nasional bisa memperkuat posisi di pasar regional maupun global.