Industri baja di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, kini berada di persimpangan besar. Dorongan global untuk dekarbonisasi, tekanan kebijakan seperti CBAM, serta permintaan pasar yang semakin menuntut keberlanjutan, mendorong banyak produsen baja untuk mempertimbangkan transformasi teknologi produksi mereka. Salah satu pergeseran yang paling nyata adalah peralihan dari blast furnace konvensional menuju Electric Arc Furnace (EAF) yang lebih ramah lingkungan.
Mengapa EAF Semakin Diminati?
Secara tradisional, produksi baja berbasis blast furnace menggunakan bijih besi baru dan kokas batu bara, menghasilkan emisi karbon yang sangat tinggi. Di sisi lain, EAF memanfaatkan baja bekas (scrap) sebagai bahan baku utama dan listrik sebagai energi, sehingga mampu memangkas emisi karbon secara signifikan — bahkan hingga 75% lebih rendah dibandingkan blast furnace.
Dalam konteks Asia Tenggara, pergeseran ini dipercepat oleh meningkatnya ketersediaan scrap, penetrasi energi terbarukan yang makin meluas, serta kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan standar internasional terkait karbon.
Seperti dibahas dalam artikel 👉 Mengapa Green Steel Akan Menjadi Daya Saing Baru Industri Baja Nasional, teknologi EAF kini menjadi tulang punggung strategi green steel yang lebih kompetitif di pasar global.
Perkembangan di Kawasan Asia Tenggara
Beberapa negara di Asia Tenggara sudah lebih dulu berinvestasi dalam EAF. Di Vietnam, Thailand, dan Malaysia, proyek-proyek baru di sektor baja cenderung memilih EAF untuk mendukung target ESG perusahaan mereka.
Indonesia pun mulai mengarah ke tren serupa. Sejumlah pemain besar mulai mengevaluasi integrasi EAF, baik sebagai lini baru maupun sebagai bagian dari diversifikasi teknologi. Faktor pemicunya tidak hanya CBAM Eropa, tapi juga kebutuhan domestik — misalnya, untuk memasok baja berkualitas tinggi dan rendah karbon ke proyek energi terbarukan, otomotif, dan infrastruktur hijau.
Dengan implementasi carbon tax dan emissions trading scheme yang tengah dikembangkan, peluang bagi EAF di Indonesia akan semakin besar. Apalagi, potensi pasokan listrik dari energi terbarukan di tanah air sangat besar dan terus tumbuh.
Tantangan Implementasi EAF di Indonesia
Meski peluangnya besar, transisi ke EAF tidak tanpa tantangan. Beberapa kendala yang dihadapi oleh produsen baja nasional antara lain:
- Ketersediaan scrap dalam volume dan kualitas yang memadai.
- Infrastruktur energi listrik yang stabil dan ramah lingkungan.
- Investasi awal yang relatif tinggi untuk pembangunan atau retrofit pabrik EAF.
Namun, dengan tren yang berkembang pesat di kawasan, serta insentif dekarbonisasi yang mulai muncul, EAF diproyeksikan akan menjadi bagian penting dari strategi bisnis industri baja Indonesia dalam beberapa tahun ke depan.
Momentum untuk Memimpin Perubahan
Di tengah pergeseran global menuju green steel, perusahaan yang berani mengadopsi teknologi EAF lebih awal akan memperoleh keunggulan kompetitif yang signifikan. Bukan hanya dalam memenuhi pasar ekspor, tetapi juga dalam mendukung sektor hilirisasi mineral dan proyek energi terbarukan di dalam negeri.
Tren peralihan dari blast furnace ke Electric Arc Furnace (EAF) di Asia Tenggara bukan sekadar reaksi terhadap regulasi baru, melainkan bagian dari strategi jangka panjang untuk menciptakan industri baja yang lebih berkelanjutan dan kompetitif.
Bagi Indonesia, ini adalah momentum untuk memperkuat posisi di pasar regional maupun global. Produsen baja yang mampu membaca arah tren ini lebih awal, berinvestasi pada EAF, serta mengintegrasikan green steel ke dalam strategi bisnis mereka, akan berada di garis depan dalam era baru industri baja Asia Tenggara.
Transformasi ini sangat selaras dengan berbagai agenda strategis industri baja Indonesia yang telah dibahas di artikel: