Di tengah meningkatnya tekanan global terhadap perubahan iklim, pelaporan jejak karbon telah menjadi syarat mutlak dalam lanskap industri yang makin terintegrasi. Sektor industri baja, yang selama ini berkontribusi besar terhadap emisi karbon global, berada di garis depan perubahan ini.

Menurut laporan World Steel Association (2024), sektor baja menyumbang sekitar 7% emisi CO₂ global, menjadikannya target utama dalam agenda dekarbonisasi industri. Maka tak heran jika pelaporan karbon kini tidak hanya menjadi alat ukur keberlanjutan, tapi juga indikator utama daya saing dalam ekspor, pembiayaan, dan posisi dalam rantai pasok global.

 

Regulasi Global Mendorong Transparansi Emisi

Salah satu pendorong utama urgensi pelaporan karbon adalah kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dari Uni Eropa. CBAM akan secara resmi diterapkan penuh pada tahun 2026, dan akan mengenakan tarif karbon terhadap produk baja impor dari negara yang tidak memiliki standar emisi seketat UE. Baca juga artikel “Dampak CBAM Eropa bagi Ekspor Baja Indonesia: Ancaman atau Peluang?”.

Bagi Indonesia, dampaknya signifikan. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa hampir 20% ekspor baja Indonesia ke Eropa berpotensi terdampak tarif tambahan sebesar hingga 16,8%, jika tidak disertai pelaporan karbon yang kredibel.

Tidak hanya Uni Eropa, Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat kini mulai mensyaratkan transparansi emisi di seluruh rantai pasok. Perusahaan otomotif seperti Toyota, Hyundai, hingga Mercedes-Benz telah menetapkan ambisi net-zero pada scope 3 emissions (termasuk bahan baku seperti baja), yang mengharuskan para supplier mereka menyertakan laporan emisi produk secara detail. Ini menandai pergeseran besar dari voluntary disclosure ke mandatory compliance.

Apa Itu Jejak Karbon di Industri Baja?

Secara sederhana, jejak karbon adalah total emisi gas rumah kaca (GRK) yang dihasilkan dari seluruh proses produksi dari hulu ke hilir. Dalam industri baja, jejak karbon terdiri dari tiga cakupan utama:

  • Scope 1: Emisi langsung dari proses produksi (misal: pembakaran batu bara dalam blast furnace)
  • Scope 2: Emisi tidak langsung dari penggunaan energi listrik dan panas
  • Scope 3: Emisi dari aktivitas yang tidak dikendalikan langsung, seperti logistik bahan baku, transportasi, dan penggunaan produk akhir

Pelaporan jejak karbon yang akurat biasanya dilakukan melalui standar internasional seperti ISO 14064, Environmental Product Declarations (EPD), atau sistem pelaporan seperti yang direkomendasikan oleh GHG Protocol dan Task Force on Climate-related Financial Disclosures (TCFD).

Tanpa sistem pelaporan yang konsisten, produsen baja akan kesulitan membuktikan klaim keberlanjutan dan mengakses pasar ekspor utama.

 

Green Steel Dimulai dari Transparansi

Banyak perusahaan kini mengklaim sedang memproduksi green steel. Tapi pertanyaannya: bagaimana publik bisa memverifikasi hal ini?

Jawabannya kembali pada jejak karbon. Tidak ada transisi menuju green steel tanpa baseline emisi yang kuat. Bahkan lembaga pembiayaan seperti Asian Development Bank (ADB) dan International Finance Corporation (IFC) mensyaratkan pelaporan emisi terstandarisasi sebagai syarat pendanaan proyek hijau di sektor baja.

Pelaporan ini juga menjadi dasar pengambilan keputusan investasi, termasuk dalam hal peralihan ke Electric Arc Furnace (EAF), integrasi energi terbarukan, atau proyek Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).

Tanpa transparansi data, semua rencana transisi hijau hanya akan menjadi jargon,  bukan strategi bisnis nyata.

 

Tantangan & Kesiapan Industri Baja Indonesia

Indonesia sedang berada di titik krusial. Sebagai produsen baja terbesar di Asia Tenggara, Indonesia memiliki peluang besar untuk memainkan peran kunci di pasar regional dan global. Namun, tantangannya juga tidak kecil.

Masih banyak pabrik baja nasional yang menggunakan teknologi lama berbasis blast furnace, dengan intensitas karbon rata-rata 2,2 ton CO₂ per ton baja, jauh di atas standar EAF yang bisa mencapai hanya 0,4–0,7 ton CO₂ per ton baja (IEA, 2024).

Selain itu, belum semua produsen memiliki sistem MRV (Monitoring, Reporting, and Verification) yang mampu menghasilkan data karbon terukur dan diaudit. Ketiadaan infrastruktur pelaporan ini membuat mereka rentan terhadap eksklusi dari rantai pasok global.

Namun, ada kemajuan. Beberapa produsen baja nasional dan proyek-proyek kawasan industri hijau seperti di Morowali dan Weda Bay mulai mengembangkan model pelaporan berbasis standar internasional. Pemerintah juga sedang mengembangkan carbon registry nasional dan sistem offset melalui pasar karbon domestik dan internasional.

 

Membangun Daya Saing Lewat Transparansi

Transparansi karbon bukan hanya tentang kepatuhan. Ini adalah fondasi untuk daya saing jangka panjang.

Dengan sistem pelaporan yang kredibel, perusahaan bisa:

  • Mengakses pasar ekspor premium (UE, Jepang, Korea Selatan)
  • Mendapatkan green financing dari bank internasional dan institusi multilateral
  • Memperkuat positioning sebagai mitra strategis dalam proyek infrastruktur berkelanjutan dan hilirisasi mineral
  • Menarik mitra bisnis dari sektor otomotif, energi bersih, dan konstruksi global yang memiliki komitmen net-zero

Dengan kata lain, jejak karbon kini bukan hanya angka, tetapi paspor untuk bertahan dan tumbuh di era dekarbonisasi global.

 

Di tengah transformasi industri global, pelaporan karbon telah menjadi tolok ukur keberlanjutan dan kepercayaan. Industri baja Indonesia tidak bisa lagi menunggu. Produsen yang berinvestasi dalam sistem pelaporan, verifikasi, dan inovasi hijau akan memimpin masa depan, bukan hanya sebagai pemasok baja, tetapi sebagai mitra dalam ekonomi rendah karbon.